TEKS-TEKS PERJANJIAN LAMA
Teks Masoret
Teks tulisan tangan Perjanjian
Lama kuno yang utuh sekarang ini adalah Kodeks B19 yang saat ini berada di
Perpustakaan di St. Petersburg. Teks ini dikenal dengan nama Kodeks Leningradensis, yang juga
dikenal dengan nama Kodeks
Petropolitanus, ditulis pada tahun 1008
di Kairo dan merupakan teks tulisan tangan terbaik, sehingga para ilmuan
Alkitab banyak mengacu kepada teks ini.
Kodeks Leningradensis berasal
dari tradisi penulisan teks Alkitab Ibrani yang sangat rumit, yaitu berasal dari para Masoret dari abad ke-8
sampai ke-10 M di Tiberias di pantai danau Genesaret. Oleh karena itu orang menyebut teks yang berasal dari
tradisi penulisan ini sebagai teks Masoret. Terdapat dua keluarga
Yahudi dalam tradisi penulisan ini, yaitu Ben Asyer dan Ben Naftali. Pada
dasarnya huruf-huruf Ibrani adalah konsonan semua. Hal ini juga berlaku kepada
teks Perjanjian Lama. Teks Perjanjian Lama yang ditulis dengan huruf konsonan
semua disebut teks konsonan. Pembacaan teks konsonan ini didasarkan pada
tradisi pembacaan kitab suci yang turun temurun. Kodeks Aleppo, yang merupakan teks konsonan, yang menjadi teks
dasar, diberi tanda vokal (vokalisasi) oleh Harun ben Asyer, lalu hasil dari vokalisasi yang dilakukan oleh
Harun ben Asyer disalin lagi oleh Samuel
ben Yakub. Kodeks Leningradensis
yang telah disebutkan di atas adalah hasil salinan yang dikerjakan oleh Samuel
ben Yakub.
Yang menjadi pendorong pemberian
tanda vokal pada teks konsonan Ibrani yang dilakukan oleh Ben Asyer dan Ben
Naftali adalah Sekte Kareer ("Para Pengikut Kitab Suci"), yang
pada abad ke-8 berkembang di daerah Babilonia. Sekte ini mengabaikan penafsiran
rabi-rabi Yahudi yang didasarkan pada tradisi Talmud, dan mereka lebih
mengarahkan pengajaran mereka hanya pada Kitab Suci. Sehingga pada waktu itu
berkembang pemikiran, bahwa jika tradisi pembacaan ini terputus dan hilang,
maka anak-cucu mereka tidak dapat membaca Kitab Suci lagi serta tidak dapat
memahaminya, karena teks Kitab Sucinya adalah berbentuk konsonan. Kebutuhan
yang mendesak ini juga dipikirkan oleh para Masoret yang adalah para rabi
(bukan berasal dari Sekte Kareer!), sehingga dua keluarga yang telah disebutkan
di atas mengerjakan vokalisasi teks konsonan.
Teks Pentateukh Samaritan
Tradisi penyalinan teks kitab
suci yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi tersebut di atas yang biasa disebut
teks masoret bukanlah satu-satunya tradisi penyalinan teks kitab suci Ibrani.
Di samping tradisi penyalinan ini terdapat juga tradisi penyalinan yang
dilakukan oleh orang-orang Samaria. Tradisi penyalinan yang dilakukan oleh
orang-orang Samaria ini dimulai sejak keterpisahan (skisma) jemaat Yahudi dan
Samaria pada tahun yang tidak diketahui lagi, tetapi yang pasti pada zaman
setelah pembuangan. Orang-orang Samaria adalah penduduk yang tinggal di wilayah
Israel utara setelah pada tahun 722 SM ditaklukkan oleh bangsa Asyur. Mereka
adalah campuran antara Israel dan bangsa-bangsa lain yang tinggal di daerah
tersebut. Mereka hanya mengakui Pentateukh sebagai Kitab Suci mereka. Teks
tulisan tangan yang tertua dari tradisi ini yang masih ada berasal dari abad
ke-12 M yang sekarang ini berada di Perpustakaan Universitas Leipzig.
Teks Qumran
Antara tahun 1947 dan 1956 ditemukan fragmen-fragmen teks Perjanjian Lama dalam
bentuk lebih dari 190 gulungan dari
dalam 11 gua di Qumran, yang terletak di pantai Laut Mati, yaitu sekitar 15
km sebelah selatan dari kota Yerikho. Dimulai dari ketidak sengajaan pada tahun
1947, yaitu ketika seorang gembala muda dari suku Badui, yang mencoba untuk
mencari dombanya yang hilang di sekitar gua-gua di Qumran, dan ketika dia
mencoba untuk mencari dombanya di sebuah gua, dia secara tidak sengaja
menemukan gulungan-gulungan kitab. Penemuan ini merupakan penemuan pertama
gulungan-gulungan kitab Qumran, dan sejak saat itu para arkeolog meneliti di
Qumran dan menemukan gulungan-gulungan kitab yang lainnya. Sebagian besar
fragmen tersebut berasal dari abad ke-2 SM dan ke-1 SM, namun ada juga sebagian
kecil yang berasal dari abad ke-3 SM. Setiap bagian dari kitab-kitab Perjanjian
Lama (kecuali kitab Ester) ditemukan di Qumran. (Lihat Naskah Laut Mati) Gambar
1: Qumran
Teks Yunani
Tradisi penerjemahan Alkitab Ibrani ke Yunani juga merupakan sumber
yang sangat penting, yang disebut Septuaginta.
Nama ini berasal dari bahasa Latin yang berarti "tujuh puluh" dan
biasanya disingkat dengan huruf romawi LXX. Legenda tentang Septuaginta ini
didasarkan pada Surat Aristeas pada abad ke-1 SM: Demetrius dari Phaleron, ketua Perpustakaan di Alexandria, mengusulkan
kepada Raja Ptolemeus II Philadelphus
(285-246 SM) untuk memasukkan kitab
Taurat Yahudi ke dalam Perpustakaan Alexandria. Untuk melaksanakan proyek ini,
maka 72 tua-tua Yahudi (enam dari masing-masing suku Israel/ 6 x 12
= 72), dikirim oleh Imam Besar
Eliezer ke Alexandria untuk menerjemahkan kitab Taurat, dan penerjemahan
itu memakan waktu selama 72 hari dan
hasil dari penerjemahan ini digunakan oleh jemaat Yahudi yang saat itu berada di Diaspora Mesir. Legenda ini
didasarkan pada motif mujizat munculnya Septuaginta. Namun dari legenda ini
kita dapat memperoleh informasi, bahwa kitab Taurat dalam bahasa Yunani pada
awalnya dipergunakan oleh jemaat Yahudi yang berada di Diaspora Mesir yang
tidak bisa berbahasa Ibrani lagi, yaitu pada pertengahan abad ke-3 SM. Satu
abad setelah itu, yaitu sekitar pertengahan abad ke-2 SM, seluruh Alkitab telah
diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Hal ini didasarkan pada Prolog kitab Sirakh
(sekitar 132 SM), bahwa "Taurat, para Nabi, dan kitab-kitab lain" (mengacu
kepada tiga bagian dari kitab Ibrani, yaitu Torah, Nebi'im dan Ketubim) telah
diterjemahkan dalam "bahasa lain" (tentunya dalam hal ini bahasa
Yunani).
Tradisi Septuaginta sangat berbeda dengan tradisi Masoret, baik
dari sisi bahasa maupun teksnya. Nampaknya teks Ibrani yang digunakan oleh para
penerjemah adalah teks yang berbeda dengan teks dari tradisi Masoret. Hal ini
didasarkan pada bukti: bahwa (1)
Septuaginta memuat beberapa kitab di luar kitab Ibrani, (2) bahwa kitab Daniel dan Ester di Septuaginta lebih panjang dari
versi kitab Ibrani, dan juga kitab Yeremia versi Septuaginta lebih pendek dari
versi kitab Ibrani, secara khusus perbedaan bentuk teks antara teks Ibrani yang
digunakan oleh Septuaginta dan teks Ibrani Masoret akan nampak jika kita
membandingkannya secara mendetail dari kitab Daniel.
Pada awalnya tradisi Septuaginta
menjadi teks yang sangat penting bagi orang Yahudi pada waktu itu. Namun
setelah konsili Yamnia (sekitar 95 M)
tradisi ini menduduki peranan yang tidak penting lagi. Hal ini mungkin karena
teks Septuaginta menjadi pegangan penting bagi orang Kristen mula-mula, dan
teks ini mendapat tandingan dari terjemahan Yunani yang baru, yaitu Aquila (130 M), Theodotion (abad ke-2 M) dan Symmakus (abad ke-3 M). Namun tradisi
ini mendapat tempat yang sangat penting dalam tradisi Kristen. Kemudian
Septuaginta direvisi oleh para ahli Kristen:
oleh Origenes (antara 232-254 di Kaisarea dalam edisi teks kritik
Septuaginta),
oleh Uskup Mesir Hesikhius (meninggal sekitar 310),
oleh Tua-Tua Lukian di Antiokhia (meninggal sekitar 311).
Menurut keterangan Hieronimus,
orang Kristen di Alexandria dan Mesir menggunakan Septuaginta versi Hesikhius;
sedangkan orang Kristen di Konstantinopel sampai Antiokhia menggunakan
Septuaginta versi Lukian Sang Martir; dan di samping itu orang Kristen di
Palestina menggunakan Septuaginta versi Origenes.
Kemudian berdasarkan Septuaginta
diterjemahan Alkitab Perjanjian Lama dalam beberapa bahasa lain, yaitu pada
abad ke-3 M ke dalam bahasa Koptik, salah satu dialek bahasa Mesir; lalu pada
abad ke-4 M ke dalam bahasa Ethiopia; di samping itu pada abad ke-4 M ke dalam
bahasa Gotik oleh Uskup Gotik Ulfias. Berdasarkan versi Origenes Alkitab
Perjanjian Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia pada sekitar tahun 440 M.
Targum
Ketika bahasa Ibrani bukan lagi
menjadi bahasa pengantar di Palestina, banyak orang yang tidak mengerti isi
kitab suci, karena kitab suci tertulis dalam bahasa Ibrani. Oleh karena itu
diambil inisiatif, bahwa dalam ibadah di Sinagoga, setelah dibacakannya kitab
suci dalam bahasa Ibrani, teks Ibrani tersebut diterjemahkan (dalam tradisi lisan) ke dalam bahasa Aram. Terjemahan kitab suci ke dalam bahasa Aram
dalam tradisi lisan tersebut (targum, jamak: targumim) baru mulai sekitar tahun
300 M ditulis oleh ahli-ahli kitab suci. Oleh karena itu banyak terjadi
kesalahan penerjemahan dan ketidak-tentuan, karena penerjemahannya sendiri
lebih berdasarkan interpretasi.
Namun di sisi lain, dalam kritik teks, Targum kadang juga menjadi penting untuk
diperhatikan, karena dia merupakan terjemahan dari teks yang lebih tua dari
teks Masoret. Terdapat dua Targum yang terkenal dan penting, yaitu Targum Palestina dan Targum Babilonia.
Pesyitta
Pesyitta merupakan terjemahan PL
dalam tradisi Kristen. Penerjemahannya sangat bergantung dengan Targum,
sehingga kedudukannya dalam kritik teks tidaklah menduduki tempat yang penting.
Selain bergantung dengan Targum, Pesyitta juga menggunakan LXX.
Terjemahan-terjemahan dalam Bahasa Latin
Sampai sekitar tahun 250 M bahasa Yunani merupakan bahasa pengantar resmi di
seluruh kerajaan Romawi. Namun di beberapa provinsi, misalnya di Afrika
Utara, bahasa Latin masih menjadi bahasa pergaulan masyarakat, sehingga
dibutuhkan penerjemahan kitab suci ke dalam bahasa Latin untuk masyarakat yang
berdiam di provinsi-provinsi tersebut. Terjemahan-terjemahan kitab suci ke
dalam bahasa Latin tersebut mulai muncul pada awal abad ke-2 M. Tradisi
penerjemahan yang tertua adalah terjemahan dari Afrika, dan yang lebih muda
adalah terjemahan dari Italia. Terjemahan-terjemahan Latin ini disebut dengan
nama "Vetus Latina" atau
oleh orang Galia-Selatan disebut dengan nama "Itala" (versio Itala).
Penerjemahan-penerjemahan ini berdasarkan teks LXX.
Paus Damasus (366-384) memutuskan
untuk merevisi Alkitab latin dan hasil dari perevisian ini akan menjadi teks
resmi gereja Katolik. Untuk mewujudkannya, dia memerintahkan kepada Sophronius
Eusebius Hieronimus (347-419) untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa latin
atau sedikitnya merevisi teks-teks latin yang sudah ada. Hieronimus
menyelesaikan penerjemahannya pada tahun 406. Terjemahan Alkitab ke dalam
bahasa latin tersebut disebut Vulgata. Pada tahun 801 Vulgata kembali direvisi
oleh Abt Alkuin.
Melalui keputusan pada Konsili Vatikan
II Vulgata direvisi kembali dan revisi tersebut selesai pada tahun 1979. Hasil
revisi Vulgata tersebut disebut Nova Vulgata.
Kanonisasi Perjanjian Lama
Umat Yahudi mengakui 39 kitab
(atau menurut mereka 22 kitab, karena kedua kitab Samuel (1 Samuel dan 2
Samuel); kedua kitab Raja-raja (1 Raja-raja dan 2 Raja-raja); kedua kitab
Tawarikh (1 Tawarikh dan 2 Tawarikh); kitab Ezra dan kitab Nehemia; dan 12
kitab nabi-nabi kecil: masing-masing dihitung satu kitab; dan kitab Rut
digabungkan dengan kitab Hakim-Hakim; dan kitab Ratapan digabungkan dengan
kitab Yeremia) yang ditulis dalam bahasa Ibrani (veritas hebraica) sebagai
kanon.
Penetapan ke-39 kitab tersebut
sebagai kanon terjadi pada sekitar tahun
95 M dalam sebuah konsili yang diadakan di Yamnia (sekarang ini bernama Yabne,
terletak di dekat pantai Laut Tengah, di sebelah barat daya Israel. Setelah
Yerusalem dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70 M, kota ini menjadi pusat
umat Yahudi yang sangat penting). Penetapan ini memberikan legitimasi, bahwa
39 kitab ini tergolong Kitab Suci. Orang-orang Yahudi dewasa ini masih tetap
mengakui kanonisasi berdasarkan penetapan di konsili Yamnia. Tradisi Protestan
juga menganut tradisi ini.
Di samping tradisi kanonisasi
Ibrani terdapat juga di kalangan Yahudi kuno kanonisasi yang didasarkan pada
kitab-kitab Yunani yang terdapat dalam Septuaginta. Kitab-kitab Yunani tersebut
di kalangan Yahudi kuno (juga pada zaman Yesus dan jemaat Kristen perdana)
diakui sebagai kanonis. Tradisi kanonisasi Yunani pada awalnya mempunyai wibawa
di kalangan umat Yahudi, tetapi setelah tradisi ini dipegang oleh jemaat
Kristen perdana dan setelah kanonisasi di Yamnia, maka tradisi kanonisasi
Yunani tidak lagi diakui oleh umat Yahudi.
Tradisi kanonisasi ini kemudian
diambil alih atau diteruskan oleh Hieronimus
dalam menyusun Vulgata. Gereja Katolik mengakui tradisi ini. Jumlah kitab
yang diakui sebagai kanonik adalah 46 kitab. Jumlah ini 7 kitab lebih banyak
dari tradisi Protestan, yaitu: Kitab
Tobit, Yudit, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan
Salomo, Yesus Sirakh, Surat Barukh, dan Tambahan-tambahan pada Kitab Ester,
Daniel, dan Tawarikh). Tujuh kitab ini disebut dalam tradisi Katolik
sebagai “Deuterokanonika”, sementara
ke-39 kitab Ibrani disebut sebagai Protokanonika.
Kitab-kitab ini oleh kalangan Protestan dahulu disebut “Apokrif”. Menurut Luther kitab-kitab ini baik dan berguna untuk
dibaca, tetapi tidak dapat dianggap sebagai kitab suci.
Bahasa Kitab Perjanjian Lama
Kitab Perjanjian Lama sebagian
besar ditulis dalam bahasa Ibrani dan ada beberapa bagian ditulis dalam bahasa
Aram. Sebagian kecil yang ditulis dalam bahasa Aram tersebut terdapat dalam
kitab Daniel dan Ezra.